Haram Manyarah Waja Sampai
Kaputing
PERLAWANAN Pangeran Antasari terhadap cengkeraman kolonial Belanda terkenal dengan semboyan Haram Manyarah Waja Sampai ka Puting (Haram Menyerah Baja sampai ke Ujung) dalam Perang Banjar-Barito (1859-1905) yang berlangsung panjang, penuh darah dan biaya serta semangat heroik.
KESULTANAN Banjar yang berdiri pada 1520 dengan bentang kekuasaan mencakup tiga provinsi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan sebagian wilayah Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Hingga secara sepihak dari versi dokumen Belanda, pada 11 Juni 1860 dihapus dan diganti menjadi wilayah koloni. Sedangkan, dari versi rakyat Banjar justru mengakui pemerintahan darurat atau pelarian yang baru baru berakhir pada 24 Januari 1905.
Tokoh sentral dalam Perang Banjar-Barito adalah Pangeran Antasari. Gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin ini disematkan kepada Pangeran Antasari bin Pangeran Mashud bin Sultan Amir bin Sultan Muhammad Aliudin Aminullah.
Tepat, pada 14 Maret 1862, Pangeran Antasari dinobatkan sebagai Sultan Banjar di hadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan, yakni Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja. Pangeran Antasari yang lahir di Kayu Tangi, Kabupaten Banjar pada 1797 atau 1809 dan meninggal dunia di Bayan Begok, Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah, 11 Oktober 1862 dalam usia 53 tahun.
Gelar Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan dianugerahkan Pemerintah Republik Indonesia berdasar Surat Keputusan (SK) Nomor 06/TK/1968 di Jakarta, tertanggal 23 Maret 1968. Sosok Antasari memang banyak disebut dalam dokumen serta buku-buku yang ditulis penulis Belanda. Hal ini ketika Perang Banjar yang meluas hingga ke pedalaman Sungai Barito, Provinsi Kalimantan Tengah.
Keterlibatan Pangeran Antasari dipicu campur tangan Belanda dalam urusan politik Kesultanan Banjar. Hingga puncaknya meletuslah Perang Banjar yang diklaim sebagai perang panjang dan penuh biaya besar yang ditanggung kedua belah, khususnya Belanda.
Dalam buku yang ditulis H.G.J.L Meyners berjudul Bijdragen tot de kennis der geschiedenis van het Bandjermasinsche Rijk, 1863-1866, mencatat peristiwa heroik ketika kedua pasukan berhadapan di meda laga, baik sungai, gunung dan perkotaan. Penulis merupakan perwira Angkatan Darat Hindia Timur- Belanda menggambarkan kronologis dan jalannya Perang Banjar, 1863-1866. Dalam buku setebal 310 halaman itu, Meyners menyebut beberapa tokoh dalam Perang Banjar yang dikomando Pangeran Antasari, seperti Demang Lehman, Haji Buyasin, Tumenggung Surapati, dan lainnya secara lengkap. Termasuk, vonis dijatuhkan kepada para pahlawan Perang Banjar ala pengadilan Belanda.
Buku yang diterbitkan E.J Brill, Leiden, Belanda pada 1886 ini ditulis sebagai salah satu referensi Perang Banjar dari dokumen-dokumen militer era kolonial Belanda. Meyners pun menulis beberapa area perang yang harus dihadapi pasukan infanteri, arteleri dan perwira Belanda untuk merendam perjuangan laskar Pangeran Antasari.
Posisi sentral Pangeran Antasari ini membuat Belanda pernah membandrol hadiah besar bagi yang mampu menangkap dan membunuhnya. Imbalannya adalah 10.000 gulden. Pemerintah kolonial Belanda memang kerepotan dengan perlawanan Antasari dan laskarnya, melanjutkan perjuangan Sultan Hidayatullah yang telah diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat.
Taktik licik memang dimainkan Belanda untuk memadamkan dan mengakhiri Perang Banjar. Deklarasi perang yang diumumkan Pangeran Antasari selaku pewaris Kesultanan Banjar ini bergema di Muara Teweh, pada 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah.
Seruan heroik Pangeran Antasari yang menggema; Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah!” Hingga, seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi “Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin”, yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka agama tertinggi.
Tak mengherankan, semangat jihad yang digelorakan Pangeran Antasari membuat arena pertempuran meluas. Keberhasilan pasukan Banjar dan Dayak ini terbukti saat kedua belah berhadapan. Teknologi alat persenjataan juga dikenal dalam Perang Banjar.
Terbukti, adanya Lanting Kotamara semacam panser terapung di Sungai Barito, berhadapan dengan Kapal Celebes, dekat pulau Kanamit, Barito Utara. Lalu, Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batubara milik Belanda di Pengaron pada 25 April 1859, terbukti merepotkan Belanda. Dari beberapa referensi disebutkan, kekalahan Belanda sempat menjadi olok-olokan masyarakat Eropa. Itu ketika pasukan terlatihnya tak mampu mengalahkan ‘serdadu bar-bar’ dalam Perang Banjar.
Strategi perang yang dimainkan Pangeran Antasari bersama panglima dan pengikut setia juga terbukti mampu menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu. Semua ini berkat tekad Pangeran Antasari tak berhenti berjuang dan tak mau menyerah. Amanat dari Pangeran Hidayatullah untuk melanjutkan perjuangan benar-benar dijalankan Pangeran Antasari dengan rasa tanggung jawab penuh kepada Allah dan rakyat.
Sosok Pangeran Antasari juga mampu menyatukan elemen rakyat tak hanya Kesultanan Banjar. Dia juga menjadi pemimpin Suku Ngaju, Maanyan, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Bakumpai dan beberapa suku lainya yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito.
Jalur perang dan diplomasi yang ditempuh Belanda juga gagal di era Pangeran Antasari. Dalam suratnya yang ditujukan kepada Letnan Kolonel Gustave Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861, menggambarkan tuntutan sang pahlawan ini adalah hak pusaka kemerdekaan bagi Tanah Banjar.
Hingga ajal menjemput ketika Pangeran Antasari tergolek lemah karena sakit di tengah perang yang masih berkecamuk. Sang pemimpin ini menghembuskan nafas terakhir pada 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang. Hari itu diperingati rakyat Kalimantan Slatan sebagai hari wafatnya Pahlawan Nasional Pangeran Antasari.
Namun, perjuangan Pangeran Antasari dalam mengusir penjajah tetap dilanjutkan putranya, Sultan Muhammad Seman dan Mangkubumi Panembahan Muda (Pangeran Muhammad Said) serta cucunya, Pangeran Perbatasari (Sultan Muda) dan Ratu Zalecha.
Nama Pangeran Antasari pun abadi. Walau jasad terkubur di Taman Makam Perang Banjar di Kelurahan Sungai Jingah, Banjarmasin Utara, toh sang Khalifah Tanah Banjar ini diabadikan dan disematkan pada nama Korem 101/Antasari, UIN Antasari, jalan, pasar dan lainnya. Teranyar, pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) mencetak uang kertas lembaran Rp 2.000 untuk mengenang jasanya dalam menumbuhkan semangat heroik dan nasionalisme.(jejakrekam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar